Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Paradoks kurva cinta

Aku tak berkutik Aku berdiri tanpa kaki Aku bersandar tanpa bahu Aku tertawa tanpa tawa Aku diam tak berkata Bagaimana bisa aku melumpuhkan daya ingatku  semua tentangmu masih saja terbayang bagai pisau belati menusuk kepenatan hati Kau cukup diam tak perlu menggunung dengan segala problema hati Nikmati saja jika kaca pecah tanpa dipecahkan  Masih ingat dengan sajak kepahitan  begitu banyak pilu yang ku torehkan kali ini aku tak ingin menumpahkan rindu bosan aku dengannya... saat aku menulis sajak ini aku membayangkan rupa rahwana Hari ini aku jadi shinta yang harganya membumbung tinggi tanpa mau dibeli biarkan rahwana mengejarku  Aku akan tetap diam seberapa jauh ia menginginkanku Ambisi sekedar pelepas nafsu atau putihnya hati Rahwana mengapa aku seegois ini dalam memaknai mu? Prasangkamu memang benar aku bernafas dengan kemunafikan cinta Lepaskan genggamanmu, aku takkan mengangkat jengkal-jengkal langkahku  Cukup tatap mataku bahwa ada lantunan melodi cinta
Rindu di Pelupuk Mata Bicara mengenai rasa, harapan dan asa memang tidak akan pernah menemui endingnya. Begitu juga rindu, Setiap jengkal-jengkal jari lentik ini menoreh tinta untuk sebuah rasa mengapa menumpahkan tentang begitu banyak rindu? Apa ada selain rindu? sepertinya tidak ada, kosong. Kau tahu hal yang menyakitkan bagi pasangan yang sedang menjalani hubungan jarak jauh? Ini PR untuk kalian para pembaca setia blog ku. Rindu ini bagiku lekat, ketika aku menjatuhkan sebutir cairan bening disudut mataku, ku temukan jawabannya bahwa rindu selalu dekat dengan pelupuk mata. Jika setiap dera langkahku kini terhenti karena tak menemukan senyuman mu, maafkan aku. tapi do'a untuk secangkir rindu ini takkan pernah terhenti. Hampir seperempat dasawarsa ini aku tak menemukan mu, dunia memang kejam. tapi, lebih kejam rinduku. Aku ingin mengutip sedikit mengenai buku yang pernah aku baca, karya sudjiwo tedjo. seingatku begini "Kau Tahu yang membekas dari lilin bukan lele